Beberapa saat lalu, media sosial diramaikan oleh pembicaraan mengenai hasil riset yang menyatakan bahwa 10 kampus negeri papan atas terpapar oleh paham radikalisme.
Riset itu dilakukan oleh Setara Institute, sebuah lembaga riset yang concern di bidang demokrasi dan perdamaian.
Radikalisme yang dimaksud dalam riset itu adalah paham keagamaan atau ideologi yang dicirikan dengan tiga hal berikut: (1) penggunaan kekerasan atas nama agama untuk melakukan perubahan tatanan yang ada, (2) anti demokrasi, NKRI, dan Pancasila, dan (3) berpaham takfiri (mengafirkan orang lain).
Definisi ini diadopsi dari pandangan Omar Ashour dalam The De-Radicalization of Jihadists: Transforming Armed Islamist Movements dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Sepuluh Kampus Negeri Terpapar Paham Radikalisme
Dari Riset yang dilakukan selama tiga bulan, yakni dari Februari hingga April 2019 Kesepuluh kampus yang dimaksud adalah:- Universitas Indonesia
- Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
- Institut Teknologi Bandung
- Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
- Institut Pertanian Bogor
- Universitas Gajah Mada
- Universitas Negeri Yogyakarta
- Universitas Brawijaya
- Universitas Airlangga
- Universitas Mataram.
Riset itu menjelaskan bahwa terdapat tiga wacana keagamaan yang dominan di kampus-kampus negeri itu: (1) cara pandang bahwa keselamatan masyarakat hanya tercapai jika masyarakat taat menjalankan perintah Tuhan yang disampaikan melalui Alquran dan hadis, (2) agama Islam dalam kondisi tertekan sehingga umat Islam harus bersatu melawannya, dan (3) Islam ditaklukkan oleh Barat karena penguasaan pemikiran dan kebudayaan, sehingga harus dilancarkan ghazw al-Fikr (perang pemikiran).
Ketiga wacana keagamaan dominan itu seluruhnya dikuasai persebarannya oleh Gerakan Tarbiyah. Cara mereka melakukannya adalah dengan menguasai Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus, masjid besar kampus, asrama mahasiswa, dan musalla-musalla fakultas.
Dengan cara ini, kemudian mereka melakukan indoktrinasi wacana keagamaan eksklusif yang tekstual dan skripturalistis.
Berdasarkan press release Setara Institute mengenai hasil risetnya ini (31 Mei 2019), metode penelitiannya dilakukan secara kualitatif. Pengumpulan data per kampus dilakukan dengan metode yang berbeda-beda.
Ada yang menggunakan in-depth interview (wawancara mendalam), focus group discussion (Diskusi Kelompok terfokus), observasi, dan data sekunder.
Metode yang digunakan juga tidak seragam. Ada yang berupa studi kasus, desk review (kajian dokumen, data statistik, data sebelumnya, dan textbook, telaah kebijakan), etnografi, dan gabungan antara studi kasus dan desk review.
Alasan digunakannya bermacam-macam jenis penelitian ini karena masing-masing peneliti di tiap-tiap kampus memiliki keahlian yang berbeda-beda, sehingga mereka diberi kebebasan untuk melakukan penelitian sesuai keahlian masing-masing, asal masih dalam kerangka metode kualitatif.